Sejarah dan Pengertian Asuransi Syariah

Sejarah dan Pengertian Asuransi Syariah

Dalam kehidupan, manusia selalu dihadapkan dengan ketidakpastian dan berbagai kemungkinan resiko. Dari lahir sampai akhirnya tutup usia. Resiko-resiko tersebut di antaranya adalah kecelakaan diri, kematian, kerugian akibat kehilangan seluruh atau sebagian hata benda, dan lain-lain. Segala resiko yang menimpa manusia merupakan qadha dan qadhar dari Allah Swt, namun demikian manusia terus wajib berikhtiar melakukan tindakan berjaga-jaga untuk memperkecil resiko yang ditimbulkan dari musibah dan kemalangan tersebut (Maryani, 2010:1). Untuk mengatasi ketidakpastian yang terjadi di masa datang, maka manusia berusaha untuk mengganti ketidakpastian tersebut dengan sesuatu yang pasti. Untuk menciptakan suatu kepastian dalam resiko yang akan timbul mereka membuat suatu kelompok untuk saling menanggung ketika resiko tersebut menimpa salah satu anggota mereka. Salah satu tindakan yang diambil untuk menghindari resiko dalam rangka mengatur ekonomi dan keuangan tersebut adalah dengan mengadakan asuransi.

Di Indonesia terdapat lembaga asuransi yang terdiri dari asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi dalam UU No. 02 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (Hafidhuddin, 2009:09).

Sedangkan asuransi syariah menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (Hafidhuddin, 2009:09).

Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tercatat bahwa perkembangan industri asuransi di Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai memahami asuransi merupakan bagian dari manajemen resiko yang harus dipersiapkan dalam kehidupan baik sebagai proteksi diri, usaha dan lain-lain.

Selain kelima tantangan tersebut, asuransi konvensional maupun syariah juga banyak menuai pro dan kontra di antara para ulama maupun akademisi. M. Nejatullah menulis mengenai asuransi dalam Islam, ia memiliki pendapat yang agak berbeda dengan para ulama tradisional. Pandangannya mengenai asuransi lebih terbuka daripada para cendekiawan yang lain. Beliau berpendapat bahwa asuransi berbeda dengan judi karena memiliki dasar yang berbeda, dan pada hakikatnya Islam tidak menentang adanya gagasan dalam hal penanggulangan risiko yang dapat diperhitungkan, seperti dalam masalah asuransi. (Ash-Shiddiqie, 1986:05)

Golongan modern yang sangat mendukung dengan adanya asuransi jiwa mengatakan bahwa asuransi jiwa bukan rancangan untuk mengatasi kekuasaan Tuhan, akan tetapi hanya membayar ganti rugi kepada tertanggung yang mengalami kerugian. Karena ini merupakan kerjasama untuk meringankan beban keluarga. Sedangkan pihak yang mengharamkan asuransi di antaranya; Syeikh Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa asuransi jiwa merupakan suatu perjudian karena tidak wajar untuk seseorang membayar sebagian saja dari jumlah pembayaran yang sebenarnya untuk menyesuaikan jumlah semua uang yang seandainya ia mati. Begitu juga dengan Mahdi Hasan seorang mufti India, dia mengatakan asuransi jiwa haram karena terdapat unsur penyuapan. Karena ganti rugi yang diberikan melalui asuransi merupakan pembayaran untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai. (Ash-Shiddiqie, 1986:05)

Baca Juga :  Bagaimana Cara Menjadi Agen Asuransi yang Baik? Simak Kiatnya

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang /pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. (Hafidhuddin, 2009:09)

Dari definisi di atas, tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong-menolong yang disebut dengan ‘ta’awun’. Yaitu prinsip hidup saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiah antara sesama anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko). (Sula, 2004:30).

Sejarah Asuransi Syariah

Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Sebelum Masehi di mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman seperti mengatasi kekurangan bahan makanan pada zaman Mesir kuno, dalam kisah Nabi Yusuf as., yang diminta untuk menerjemahkan mimpi seorang raja. Inti dari mimpi tersebut, Nabi Yusuf as., menerjemahkan bahwa selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian akan diikuti masa paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga dari bencana kelaparan itu, Raja mengikuti saran Nabi Yusuf as., dengan menyisihkan sebagian harta dari hasil panen tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik, sehingga pada masa tujuh tahun paceklik, rakyat Mesir dapat terhindar dari resiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. (Muslehuddin, 1999:37).

Masyarakat Arab kuno telah mengenal tentang prinsip-prinsip asuransi sejak dahulu kala. Ketika kehidupan masih didominasi oleh berbagai suku-suku, saling serang dan penculikan masih sering terjadi. Wanita dan anak-anak merupakan sasaran penculikan yang paling sering terjadi. Dari hasil penculikan anak-anak dan wanita tersebut, kemudian mereka meminta uang tebusan kepada pihak yang kehilangan. Apabila ternyata di tengah jalan tawanan tersebut terbunuh maka berlaku uang darah (uang ganti rugi) yang akan dibayarkan oleh pihak yang membunuh kepada pihak yang terbunuh. Dari sinilah asal muasal asuransi mutual mulai terbentuk. Meskipun bentuk asuransi mutual ini merupakan bentuk asuransi yang paling primitif, dan terdapat banyak perbedaan dengan asuransi yang ada sekarang, namun jika diperhatikan, tentunya juga ada kesamaan-kesamaannya. (Muslehuddin, 1999:37).

Dasar – dasar asuransi mutual adalah anggota baik secara individu maupun secara bersama-sama sebagai penanggung sekaligus tertanggung. Ditinjau dari sifat organisasinya, tidak ada maksud-maksud mencari keuntungan juga tidak ada maksud eksploitasi memperkaya salah satu pihak dengan memeras yang lain. (Muslehuddin, 1999:37)